Para guru harus mengembangkan tradisi  ilmiah. Tradisi ini dibangun dari tradisi membaca sejak dini dan dimulai  dari keluarga. Selain itu, guru juga perlu mengembangkan budaya  berpikir. Guru juga harus membiasakan dan mencontohkan peserta didik  untuk menulis. Tradisi ilmiah guru dikembangkan dengan membaca,  berpikir, dan menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.   
  Hal tersebut disampaikan Kepala Biro Perencanaan dan  Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan Nasional (Ka Biro PKLN  Kemendiknas) Agus Sartono, mewakili Menteri Pendidikan Nasional, saat  membuka Lokakarya Tradisi Ilmiah Guru di Kemendiknas, Jakarta, Rabu  (17/3/2010). 
 "Kita perlu mengembangkan budaya untuk giat  belajar untuk mengajar dan belajar sepanjang hayat, mengajar sepanjang  zaman. Guru boleh meninggal dunia namun tulisannya akan terus mengajar  hingga kiamat," kata Agus. 
 Agus mengungkapkan, tradisi ilmiah  di lingkungan guru dan dosen masih rendah. Hal ini, kata dia, dapat  dilihat dari indikator karya ilmiah guru. Dia menyebutkan, dari 2,6 juta  guru di Indonesia untuk guru golongan IVB hanya 0,87 persen, guru  golongan IVC 0,07 persen, dan golongan IVD 0,02 persen. "Persyaratan  untuk naik (ke golongan) IVB tidak hanya cukup dengan mengumpulkan angka  kredit mengajar saja, tetapi salah satu komponennya menulis karya  ilmiah," ujar Agus.
  Sementara, kata Agus, jumlah publikasi  ilmiah nasional dosen sebanyak enam persen, sedangkan publikasi ilmiah  internasional dosen 0,2 persen. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,  kata dia, terus mendorong para dosen untuk melakukan penelitian dengan  berbagai program. "Sekarang sedang dipikirkan oleh pemerintah untuk  membuat dana abadi pendidikan. Salah satu komponennya adalah untuk  riset," ujarnya. 
 Untuk meningkatkan tradisi ilmiah guru, kata  Agus, pemerintah mulai dengan memberikan beasiswa peningkatan  kualifikasi S1 dan D4. Selain itu, kata dia, dengan tunjangan  serfitikasi diharapkan mendorong guru-guru untuk lebih giat lagi  menulis. "Kalau dia (guru) giat menulis maka angka kreditnya akan  semakin besar. Dia akan naik pangkat dan kualifikasinya akan semakin  baik," katanya. 
 Ketua UNITWIN-UNESCO Johannes Gunawan  menyampaikan, salah satu kondisi guru di Indonesia yang memerlukan  pengembangan lebih lanjut adalah kemampuan guru pada umumnya yang belum  terbiasa dengan tradisi ilmiah. atau scientific tradition. Sebagian  besar guru, kata dia, belum memiliki kompetensi dalam penulisan karya  ilmiah. "Hal ini terjadi di berbagai bidang baik tentang substansi  keilmuan yang diembannya maupun tentang metode pembelajaran, " katanya.  
 Penyebabnya, kata Johannes, antara lain karena berbagai  keterbatasan yang dihadapi guru, baik dalam mengakses informasi melalui  perangkat keras untuk melakukan telurus informasi maupun penguasan  metode ilmiah oleh guru. Selain itu, kata dia, masih terdapat kelangkaan  berbagai wahana atau pola pengembangan ilmu dan keterampilan guru di  mana guru dapat bertukar dan berbagi informasi yang penting bagi  peningkatan profesionalismenya. 
  Johannes mengatakan,  UNITWIN-UNESCO, sebagai salah satu UNESCO chair di Indonesia, bertugas  mengembangkan hak untuk pendidikan. "Lokakarya ini bertujuan  mengeksplorasi berbagai kesempatan dan kemungkinan untuk membangun dan  meningkatkan tradisi ilmiah guru di Indonesia," ujarnya.
   Program Spesialis Pendidikan Kantor UNESCO Jakrta, Anwar Alsaid,  mengatakan, berdasarkan estimasi Institut Statistik UNESCO, pada periode  2007-2015 dibutuhkan sebanyak 10 juta guru yang harus direkrut hanya  untuk pendidikan dasar saja. Hal ini, kata dia, merupakan tantangan yang  dihadapi oleh banyak negara di dunia. "Untuk menyikapi gap ini, kita  tidak hanya melihat pada kebutuhan dan distribusi guru saja, tetapi juga  pelatihan, dukungan, dan kondisi kerja untuk guru," katanya.
   Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Arief Rachman menyampaikan,  kebiasaan-kebiasaan berpikir ilmiah diantara guru perlu dikembangkan.  Caranya, kata dia, adalah dengan secara terus menerus membuat penelitian  dan karya ilmiah. Dia mengatakan, jikda di SMA ada kelompok ilmiah  remaja maka perlu ada kelompok ilmiah guru dan kelompok ilmiah dosen.  "Ini semua nanti menghasilkan jurnal-jurnal yang kaya. Kepala sekolah  membuat kelompok-kelompok belajar diantara guru," katanya. 
  Sumber: www.jurnalnet.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
0 komentar:
Posting Komentar