Etika Politik Islam dalam Memilih Pemimpin

Kekuasaan di mata Islam bukanlah barang terlarang. Sebaliknya, kekuasaan dan politik dianjurkan selama tujuannya adalah untuk menjalankan visi-misi kekhalifahan. Tugas khilafah dapat berjalan dengan efektif dan kongkret ketika disandingkan dengan politik dan kekuasaan. Selain itu, kekuasaan serta politik mengambila peranan penting dalam berdakwah dan menyebarkan pesan-pesan Islam. Menurut sejarah, ketika Nabi Muhammad membangun dan memegang kekuasaan politik bersama negara Khilafah Islam Al-Madinah - Al-Munawwarah, beliau berhasil menyebarkan juga menegakan supremasi Islam. Umat atau masyarakat akan cenderung mengikuti sosok pimpinannya. Figur penguasa memiliki peran penting dan juga strategis di dalam Islam. Islam dapat maju dan berakar cukup kuat di Indonesia juga Negara-negara Islam lainnya pun tidak lepas dari dukungan kekuasaan politik.

Etika Politik dalam memilih pemimpin menurut tokoh-tokoh Islam.

Pendapat mengenai pemilihan pemimpin mengalami banyak perdebatan dan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Wacana kepemimpinan ini muncul setelah Nabi Muhammad wafat. Pada masa itu, umat Islam terpecah belah. Setelah wafatnya Muhammad, tidak ada lagi rasul setelahnya seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Timbulah perdebatan mengenai proses pemilihan pemimpin juga pencarian sosok yang tepat untuk memimpin Islam. Menurut sejarah, kepemimpinan Islam setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh oleh Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, dan Bani Abbas. Setelah itu, kepemimpinan Islam terpecah ke dalam kesultanan-kesultanan kecil.

Adapun beberapa tokoh Islam membuat pemikiran-pemikiran mengenai etika politik Islam dalam memilih pemimpin:

1. Farabi

Bagi Farabi, selain seorang nabi yang mendapatkan kebenaran lewat wahyu, seorang pemimpin bolehlah seorang filsuf yang mendapatkan kearifannya melalui pikiran dan rasio.

2. Mawardi

Mawardi berpendapat, dalam mengangkat seorang pemimpin, dibutuhkan Ahl al-Ikhtiar, mereka yang berwenang memilih pemimpin umat. Mereka terdiri dari ulama-ulama dan petinggi kerajaan yang harus memiliki tigas syarat, antara lain sikap adil, ilmu pengetahuan yang layak, serta memiliki wawasan luas dan kearifan untuk menentukan pemimpin yang paling tepat untuk mengelola kepentingan umat. Kemudian, dibutuhkan pula Ahl al-Imamah, yaitu mereka yang berhak mengisi jabatan pemimpin. Mereka-mereka ini harus memiliki sikap adil, ilmu pengetahuan yang memadai, sehat pendengaran, penglihatan, dan juga lisan, memiliki anggota tubuh yang utuh, memiliki wawasan luas untuk mengatur rakyat, memiliki keberanian untuk melindungi rakyat, dan merupakan keturunan Quraisy. Mawardi berpendapat bahwa seorang pemimpin dapat diturunkan bila tidak mampu lagi memerintah.

3. Ghazali

Ghazali berpendapat bahwa kekuasaan Negara merupakan mandat dari Allah yang diberikan kepada orang-orang pilihan. Seorang Pemimpin adalah bayangan Allah di muka bumi, sehingga masyarakat yang dipimpin harus mencintai dan tunduk terhadap semua perintahnya. Baik Ghazali maupun Mawardi berpendapat bahwa peimpin umat Islam saat itu haruslah keturunan suku Quraisy. Hal ini karena suku Quraisy merupakan suku terbesar masa itu.

Di dalam etika politik Islam, memilih calon pemimpin tidaklah menggunakan demokrasi seperti pada apa yang Yunani anut. Pemimpin dipilih oleh majelis Syura yang beranggotakan para ahli ilmu agama untuk masalah pemerintahan. Pemilihan ini memang terkesan tidak adil dan tertutup karena rakyat dipimpin oleh seseorang yang tidak mereka ketahui. Selain itu masyarakat tidak memiliki hak untuk menentukan pilihannya. Hal ini dapat memberikan kesempatan kepada sang pemimpin untuk tidak bertanggung jawab dan menjalankan tugasnya dengan semestinya, karena rakyat tidak dapat mengawasi pemimpinnya secara langsung.

Etika politik Islam yang sedemikian rupa, juga memiliki berbagai kekurangan lainnya. Diantaranya adalah munculnya celah untuk melakukan nepotisme. Hal ini didukung oleh pendapat Ibnu Abi Rabi mengenai pemimpin yang sebaiknya merupakan keluarga kerajaan, dan juga pendapat Ghazali serta Mawardi mengenai pemimpin yang harus merupaka keturunan bangsa Quraisy. Sebagian besar tokoh politik Islam berpendapat bahwa pemimpin sebaiknya berasal dari silsilah, keluarga, dan juga kelompok yang sama. Hal ini sesungguhnya bukanlah jaminan bahwa pemimpin tersebut dapat berhasil memimpin seperti pendahulunya. Munculah wacana mengenai berbagai kebijakan yang hanya menguntungkan satu golongan saja.

Dengan berbagai kekurangannya, etika politik Islam bukanlah satu hal salah jika ingin diterapkan. Etika politik Islam, jika dikaji lebih lanjut, juga memiliki kelebihan-kelebihan di dalamnya. Syarat-syarat lain untuk menjadi pemimpin, seperti ilmu pengetahuan yang cukup, adil, dan pembatasan-pembatasan yang didasari syariat Islam dirasa dapat memberikan kesempatan yang lebih dalam memilih pemimpin yang tepat. Syariat Islam merupakan sorotan penting dalam etika politik Islam. Syariat Islam digunakan untuk mengontrol jalannya sistem pemerintahan yang menganut etika politik Islam. Tidak ada salahnya mengadopsi etika politik Islam dan mengkolaborasikannya dengan etika politik kita saat ini, yaitu Pancasila, selama tidak menghilangkan pokok-pokok penting dalam Pancasila.

0 komentar:

Posting Komentar